Persaudaraan Setia Hati Terate
Logo PSHT
| |
Singkatan | PSHT |
---|---|
Slogan | Memayu Hayuning Bawana (memperindah keindahan dunia) |
Tanggal pembentukan | 1948 saat kongres pertama di Pilangbango, Madiun |
Jenis | Perguruan Pencak Silat |
Kantor pusat | Jl. Merak No.10, Nambangan Kidul, Kec. Manguharjo, Kota Madiun, Jawa Timur 63128 |
Wilayah layanan
| Indonesia, Malaysia, Belanda, Rusia (Moskow), Timor Leste, Hongkong, Korea Selatan, Jepang, Belgia dan Prancis. |
Ketua Majelis Luhur
| Ir. R.B. Wiyono |
Ketua Pengurus Pusat
| Dr. Ir. Muhammad Taufiq, S.H, M.Sc. |
Ketua Dewan Harkat dan Martabat
| H. Adi Prayitno, S.Pd. |
Tokoh penting
| Ki Hadjar Hardjo Oetomo Mr. Irsjad Mas Imam Koessoepangat Mas Tarmadji Boedi Harsono |
Situs web | psht |
Persaudaraan Setia Hati Terate (dikenal luas sebagai PSHT atau SH Terate) adalah organisasi olahraga yang diinisiasi oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo dan disepakati namanya menjadi Persaudaraan Setia Hati Terate pada kongres pertamanya di Madiun pada 1948.
PSHT merupakan organisasi pencak silat yang tergabung ke dalam Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI)[1] Saat ini PSHT diikuti sekitar 7 juta anggota, memiliki cabang di 236 kabupaten/kota di Indonesia, 10 komisariat di perguruan tinggi dan 10 komisariat luar negeri di Malaysia, Belanda, Rusia (Moskow), Timor Leste, Hongkong, Korea Selatan, Jepang, Belgia dan Prancis.[2]
Daftar isi
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Awal mula Setia Hati[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1903, Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo (EBI : Ki Ageng Surodiwiryo) meletakkan dasar gaya pencak silat Setia Hati di Kampung Tambak Gringsing, Surabaya (kawasan dekat Tanjung Perak). Sebelumnya, gaya silat ini ia namai djojo gendilo tjiptomuljo dengan sistem persaudaraan yang dinamai sedulur tunggal ketjer. Pada tahun 1917, ia pindah ke Madiun dan mendirikan Persaudaraan Setia Hati di Winongo, Madiun.[3]
Awal mula PSHT[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1922, Ki Hadjar Hardjo Oetomo (EBI : Ki Hajar Harjo Utomo) salah satu pengikut aliran pencak silat Setia Hati yang berasal dari Pilangbango[4], meminta izin kepada Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo untuk mendirikan pusat pendidikan pencak silat dengan aliran Setia Hati. Niat ini dilatarbelakangi keadaan saat itu dimana ilmu pencak silat hanya diajarkan kepada mereka yang memiliki status bangsawan seperti bupati, wedana atau masyarkat bangsawan yang memiliki gelar raden, sehingga Ki Hardjo Oetomo berniat agar ilmu pencak silat ini bisa dipelajari oleh rakyat jelata dan pejuang perintis kemerdekaan.[4] Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo setuju atas ide ini asalkan pusat pendidikan nanti harus memiliki nama yang berbeda. Akhirnya didirikanlah SH PSC (Persaudaraan Setia Hati "Pemuda Sport Club"). Pengikut Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo yang lain yang telah terhasut[5] beberapa pihak mengganggap pembukaan SH PSC sebagai sebuah pengkhianatan sehingga SH PSC dianggap "SH murtad".[3] Kelak, pihak-pihak yang mendukung pemurnian aliran Setia Hati dan mengklaim sebagai penerus sah ajaran Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo ini tergabung dalam PSHW-TM (SH Winongo).[5][6] Selain itu, adanya tempat latihan ini dianggap oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai sarana untuk melawan pemerintah kolonial sehingga Ki Hardjo Oetomo ditangkap dan menjalani hukuman pembuangan Belanda di Jember, Cipinang dan Padangpanjang.[4] Sistem yang dianut SH PSC ini adalah sistem paguron (perguruan) dimana guru ditempatkan pada tingkat tertinggi sebagai patron perguruan. Sistem pendidikan inilah yang menjadi cikal bakal Persaudaraan Setia Hati Terate.[3]
Pada tahun 1942, salah seorang murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang bernama Soeratno Sorengpati mengganti nama SH PSC menjadi Setia Hati Terate. Perubahan ini lalu disepakati saat kongres pertama yang diadakan di rumah Ki Hadjar Hardjo Oetomo di Madiun pada tahun 1948.[4] PSHT lalu mengubah diri dari sistem yang berbentuk perguruan menjadi sistem berbentuk persaudaraan untuk mendukung konsep demokratisasi organisasi, namun konsepsi dan tradisi sistem perguruan masih tetap dilanjutkan[7]. Selanjutnya PSHT semakin berkembang, setelah Mas Irsjad (salah satu murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo) menjadi ketua dan memperkenalkan 90 senam dasar, jurus 1-4, jurus belati dan jurus toya.[3] Jurus-jurus perguruan juga diperbarui oleh Mas Imam Koessoepangat untuk membedakan diri dari jurus-jurus djojo gendilo tjiptomuljo milik SH Winongo atau sekarang di kenal dengan Setia Hati Panti
Ketua dari masa ke masa[sunting | sunting sumber]
Pucuk kepemimpinan di PSHT berganti-ganti seiring waktu. Setelah wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo pada 12 April 1952, ketua dijabat oleh Soetomo Mangkoedjojo (EBI : Sutomo Mangkujoyo), yang merupakan karyawan BRI. Setelah Sutomo dipindah tugaskan ke Surabaya, ketua dijabat oleh Mas Irsjad. Pada dekade 1960-an, Mas Irsjad pindah ke Bandung dan kepemimpinan PSHT diserahkan kepada Mas Santoso Kartoatmodjo. Setelah itu terjadi pergolakan tahun 1965 sehingga ketua kembali dijabat oleh Soetomo Mangkoedjojo hingga 1974. Pada masa jabatan kedua ini PSHT membuka beberapa cabang di Magetan, Surabaya, Mojokerto, Yogyakarta, dan Solo. Pada tahun 1974, diadakan kongres di Madiun yang memutuskan Mas Imam Koessoepangat (dikenal dengan julukan Pandhita Wesi Kuning[8][9]) sebagai ketua pusat. 3 tahun berikutnya, diadakan kongres kembali dan menghasilkan nama Badini sebagai ketua selanjutnya. Pada masa ini organisasi mengalami masalah keuangan sehingga salah satu pendekarnya yang bernama Tarmidji Boedi Harsono keluar dengan solusi kontroversial, yakni mengubah sistem pembayaran pengesahan warga dari menggunakan uang logam lama (ketengan atau benggolan) menjadi uang logam yang berlaku (baik rupiah maupun yang lainnya seperti dolar, ringgit atau riyal) agar dapat membantu keuangan organisasi. Sebelumnya uang ketengan dan benggolan didapat dengan cara membeli dari istri Ki Hardjo Oetomo, Inem, sekaligus sebagai bentuk terima kasih organisasi untuk membantu keluarga Ki Hardjo Oetomo. Maka Tarmidji meyakinkan pada semua pihak yang mempertanyakan usul tersebut karena PSHT sudah berubah menjadi organisasi modern yang menjadi milik anggota bukan perorangan lagi dan untuk membantu keluarga Ki Hardjo Oetomo sudah dipersiapkan solusi lain. Pada tahun 1981, Tarmidji Boedi Harsono diangkat sebagai ketua. Pada tahun 2000, kongres diadakan kembali dengan menjadikan kembali Tarmidji Boedi Harsono sebagai ketua dan dilengkapi dengan 9 tokoh lainnya sebagai dewan pusat atau yang dikenal sebagai Nawa Pandhita.[7][3] Saat ini ketua pusat PSHT dijabat oleh Muhammad Taufiq.[10]
Pendidikan[sunting | sunting sumber]
Pendidikan pencak silat di PSHT memiliki inti unsur pembelaan diri untuk mempertahankan kehormatan, keselamatan, kebahagiaan, dan kebenaran. Materi yang diajarkan terbagi untuk 3 kelompok, yaitu kelompok pencak silat ajaran (pemula) yang terdiri dari, senam massal, senam dasar, jurus, senam dan jurus toya, jurus belati, krippen, dan silat seni untuk tunggal, ganda dan berregu. Kelompok kedua adalah kelompok pencak silat prestasi untuk mengikuti kejuaraan atau event olahraga yang melibatkan pencak silat dengan materi tanding serta dan silat seni baik tunggal, ganda, maupun beregu. Dan yang terakhir adalah kelompok Pencak Silat Bela Diri Praktis yang diberi materi bela diri profesional, pertunjukan dan keterampilan khusus.[11]
Selain itu PSHT juga mengajarkan beberapa ajaran seperti Ajaran Setia Hati, dimana warga akan belajar mengenai upaya mendekatkan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam semesta. Ajaran Setia Hati mengharuskan warganya mampu memahami dirinya sendiri dan hati nuraninya, bahwa manusia dapat dihancurkan, manusia dapat dimatikan (dibunuh) tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu setia pada hatinya sendiri dan tidak ada kekuatan apapun di atas manusia yang bisa mengalahkan manusia kecuali kecuali kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.[12] Ajaran selanjutnya adalah Ajaran dan Gerakan Budi Luhur dimana warga PSHT harus ikut berupaya mewujudkan memayu hayuning bawana (Bahasa Indonesia : memperindah keindahan dunia) dalam upaya mewujudkan masyarakat nyaman, adil, makmur, dan sejahtera lahir batin.[11]
Falsafah ajaran[sunting | sunting sumber]
- Sepira Gedhening Sengsara Yen Tinampa Amung Dadi Coba, yang berarti "seberapapun besarnya kesengsaraan jika mampu menerimanya hanya akan jadi cobaan semata".
- Ala Tanpa Rupa Yen Tumandhang Amung Sedhela, yang berarti "setiap rasa kesusahan, keburukan, serta masalah-masalah apabila dijalani dengan berlapang dada maka kemudian terasa sebentar saja".
- Tega Larane, Ora Tego Patine, yang secara harfiah berarti "Tega melihat sakitnya, tidak tega melihat matinya". Yang mana maksudnya adalah warga PSHT berani menyakiti seseorang dalam rangka memperbaiki bukan merusak (membunuh).
- Suro Diro Joyo Diningrat Lebur Dening Pangastuti, yang berarti "segala kesempurnaan hidup dapat diluluhkan dengan budi pekerti luhur".
- Satria Ingkang Pilih Tanding yang secara harfiah berarti "Seorang ksatria mampu memilih lawan". Maksudnya seseorang berjiwa ksatria hanya mau melawan orang yang mampu menghadapinya, bukan orang yang lemah daripadanya".
- Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha, yang berarti "mendatangi tanpa kawan, menang tanpa mengalahkan, sakti tanpa kesaktian dan kaya tanpa kekayaan".
- Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan, yang artinya "jangan sakit hati kala musibah menimpa, jangan susah kala kehilangan".
- Ojo Seneng Gawe Susahe Liyan, Opo Alane Gawe Seneng Liyan, yang artinya "jangan suka menyusahkan orang lain, apa jeleknya membahagiakan orang lain".
- Ojo Waton Ngomong Ning Yen Ngomong Sing Gawe Waton, yang artinya "jangan hanya bisa bicara namun harus bisa membuktikan".
- Ojo Rumongso Biso Ning Sing Biso Rumungso, yang artinya "jangan merasa bisa, namun juga harus bisa merasakan".
- Ngunduh Wohing Pakarthi, yang artinya "siapa yang berbuat pasti akan menerima hasil perbuatannya".
- Jer Basuki Mawa Beya, yang artinya "segala kesuksesan membutuhkan pengorbanan".
- Budhi Dayane Manungso Tan Keno Ngluwihi Kodrate Sing Maha Kuwoso yang berarti "segala daya upaya manusia tidak akan bisa melebihi ketentuan Tuhan Yang Maha Kuasa".
- Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara yang secara harfiah berarti "memperindah keindahan dunia serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak pada diri".
- Sepiro duwurmu ngudi kawruh, sepiro jeromu ngangsu ngilmu, sepiro akehe guru ngajimu tembe mburine mung arep ketemu marang sejatine awake dewe, yang berarti "seberapa tinggimu mencari pengetahuan, seberapa dalammu menuntut ilmu, seberapa banyak guru yang mengajarmu, tetap bergantung pada dirimu sendiri".
- Sopo sing wus biso nemoake sedulur batine kakang kawah adi ari-ari papat kiblat lima pancer, sejatine wus nemu guru sejatine.
- Sekti tanpo aji digdoyo tanpo guru, yang berarti "sakti tanpa kesaktian, hebat tanpa guru".
- Kridhaning ati ora bisa mbedhah kuthaning pesthi, yang berarti "gejolak jiwa (seharusnya) tidak mengubah kepastian".
- Amemangun karyenak tyasing sesama, yang berarti "membuat nyaman perasaan orang lain".
- Sukeng tyas yen den hita, yang berarti "suka/bersedia menerima nasihat".
- Aja Adigang, Adigung, Adiguna, yang berarti "jangan sok kuasa, sok besar dan sok sakti".
- Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo, yang berarti "jangan tergoda kemewahan, jangan mudah mendua agar semangat tidak kendur"
- Sing Resik Uripe Bakal Mulya, yang berarti "yang bersih hidupnya akan mulia".
- Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka, Sing Was-was Tiwas, yang berarti "jangan sok pintar karena akan salah arah, jangan suka berbuat curang karena akan celaka, yang ragu-ragu akan binasa".
- Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman, yang berarti "jangan terobsesi kedudukan, keduniawian dan kepuasan".
- Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman, yang berarti "jangan mudah heran, jangaan mudah kecewa, jangan mudah kaget, jangan manja".
- Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Banter tan Mbancangi, Dhuwur tan Ngungkuli, yang berarti "bekerja dengan giat tanpa pamrih, cepat tanpa mendahului dan tinggi tanpa menandingi".
- Urip Iku Urup, yang secara harfiah artinya "hidup itu menghidupi". Maksudnya dalam hidup harus bisa menjadi manfaat bagi orang lain.
- Sak Apik-apike Wong Yen Aweh Pitulung Kanthi Cara Dedhemitan, yang berarti "sebaik-baiknya orang adalah memberi pertolongan dengan tanpa ingin diketahui orang lain".
Tingkatan[sunting | sunting sumber]
Siswa[sunting | sunting sumber]
Siswa Polos[sunting | sunting sumber]
Siswa polos atau siswa hitam adalah tingkatan awal pada PSHT, yang ditandai dengan sabuk berwarna hitam. Warna hitam melambangkan kebutaan karena siswa belum mengetahui dengan baik apa itu PSHT.[14] Pada tingkatan ini siswa diajarkan pengenalan tentang Setia Hati dan Setia Hati Terate, pengenalan gerak, gerakan, beberapa senam dan jurus. Gerak dan gerakan yang diajarkan termasuk senamuntuk tangan dan kaki. Sedangkan jurus yang diajarkan pada tingkatan ini adalah 1 hingga 2 pukulan, tendangan dan pertahanan, 30 senam dan 5 sampai 6 jurus.[15]
Siswa Jambon[sunting | sunting sumber]
Siswa Polos yang lulus ujian kenaikan tingkat akan menjadi Siswa Jambon yang ditandai sabuk berwarna merah jambu (merah muda). Warna merah muda melambangkan keragu-raguan. Jambon juga berarti sifat matahari yang terbit atau sifat matahari yang terbenam, yaitu sifat yang mulai mengarah ke suatu kepastian tetapi masih belum sempurna.[14] Pada tingkatan ini siswa diajarkan pemahaman dan pengamalan Ajaran Setia Hati. Dan penambahan kemampuan gerak dan gerakan menjadi 3 hingga 4 pukulan, tendangan dan pertahanan, 45 senam dan 13 jurus.[15]
Siswa Ijo[sunting | sunting sumber]
Siswa Jambon yang lulus ujian kenaikan tingkat akan menjadi Siswa Ijo yang ditandai sabuk berwarna hijau. Warna hijau melambangkan keadilan dan keteguhan dalam menjalani sesuatu.[14] Pada tingkatan ini siswa diajarkan penambahan kemampuan gerak dan gerakan menjadi 5 hingga 6 pukulan, tendangan dan pertahanan, 60 senam dan 15 hingga 20 jurus.[15]
Siswa Putih[sunting | sunting sumber]
Sesuai namanya, Siswa Putih menggunakan sabuk berwarna putih. Dalam tingkatan ini semua pukulan, tendangan, teknik pertahanan, senam dan jurus sudah diajarkan kecuali jurus ke-36.[15] Warna putih melambangkan kesucian[14] sehingga siswa dalam tingkatan ini diharapkan telah mengerti arah yang sebenarnya dan telah mengetahui perbedaan antara benar dan salah, bertindak berdasarkan prinsip kebenaran, dan bersikap tenang. Siswa pada tingkatan ini sudah siap untuk menjalani pengesahan sebagai pendekar/warga PSHT.[15]
Warga[sunting | sunting sumber]
Warga atau Pendekar PSHT adalah mereka yang sudah menjalani ujian dan pengesahan. Warga PSHT dibagi menjadi 3 tingkat, yaitu Warga tingkat I (satria), tingkat II (ngalindra) dan tingkat III (pandhita).[16] Warga tingkat I menggunakan sabuk berwarna putih dari kain mori. Warga tingkat dua dan tiga menggunakan selendang.[15]
Tokoh[sunting | sunting sumber]
- Ki Hadjar Hardjo Oetomo
- Edhie Baskoro Yudhoyono
- Hartanto Edhie Wibowo
- Richard Simorangkir
- Imam Nahrawi (warga kehormatan)
- Herman Deru (warga kehormatan)
0 komentar:
Posting Komentar